Tommaso Claudi, il diplomatico italiano ancora a Kabul per aiutare i bambini a scappare dall’inferno

img ]

Poteva decidere di tornare in Italia, nella sua Camerino, come hanno fatto decine di colleghi. Invece Tommaso Claudi, 31enne vice console italiano in Afghanistan, è rimasto a Kabul per lavorare all’aeroporto della capitale, dando una mano in prima persona per evacuare le centinaia di persone che stanno tentando di lasciare il Paese.

Sui social network sono circolate alcune immagini di Claudi che, giubbotto antiproiettile ed elmetto a tracolla, è impegnato a trarre in salvo soprattutto minori, le vittime più deboli del caos in cui è ripiombato l’Afghanistan dopo la riconquista da parte dei talebani del Paese e soprattutto di Kabul.

Dal 2019 in Afghanistan, Claudi ha descritto così all’Ansa la situazione che sta vivendo il Paese e soprattutto la calca e il caos che attanaglia l’aeroporto: “Abbiamo purtroppo dovuto assistere a scene drammatiche ma siamo riusciti in condizioni di assoluta emergenza a riportare a casa i nostri connazionali e alcuni dei nostri collaboratori afghani che in questi anni ci hanno consentito di operare in un contesto difficile. In Afghanistan stiamo assistendo ad una grande tragedia umanitaria e tutti stiamo dando il massimo mettendoci tutto il cuore e la professionalità di cui siamo capaci”.

Gratitudine per il lavoro svolto dal vice console è arrivata da Ettore Sequi, segretario generale del Ministero degli Esteri: “Grazie Tommaso #KabulAirport”, è il tweet di poche parole dedicato a Claudi.

L’ennesimo segnale della grande attenzione che l’Italia sta mettendo in campo nel seguire la crisi afghana. Secondo le ultime stime sarebbero circa 1.700 i civili afgani evacuati negli ultimi sette giorni grazie al ponte aereo italiano. L’Italia è infatti il Paese che percentualmente ha portato via il maggior numero di collaboratori afgani rispetto ad altri partner, esclusi gli Stati, come confermato dall’Alto rappresentante civile della Nato, l’ambasciatore Stefano Pontecorvo.

Redazione

© Riproduzione riservata

Fabio Calcagni

Biden Terancam Pemakzulan: Gara-gara AS Tinggalkan Afghanistan dalam Kekacauan

img ]

AFGHANISTAN - Presiden Joe Biden berjalan menuju Marine One dalam perjalanan ke Camp David setelah berpidato di Gedung Putih tentang Afghanistan. (Foto AP/Manuel Balce Ceneta)

JATUHNYA Afghanistan ke tangan Taliban lewat penaklukan Kabul sebagai ibu kota negara, Minggu, 15 Agustus 2021, telah memicu tekanan politik kepada Presiden Joe Biden dari kubu Partai Republik. Lewat perintah penarikan pasukan pada 11 September 2021, menggenapi 20 tahun pasukan AS di Afghanistan, Biden terancam pemakzulan (impeachment) dari lawan–lawan politiknya.

Masalahnya, sejak pasukan AS memasuki Afghanistan sekaligus menumbangkan pemerintahan Taliban pada 2001, AS telah menghabiskan dana yang tidak sedikit: sekitar satu triliun dolar AS. “Kami (telah menghabiskan) lebih dari satu triliun dolar (AS) selama 20 tahun,” aku Biden.

Sementara data terbaru dari The Associated Press, Selasa, 17 Agustus 2021, militer Afghanistan dibangun oleh AS sejak 2001 dengan dana sebesar 83 miliar dolar AS, namun hancur dengan ceoat sejak digempur Taliban pada Maret 2021.

Pada April 2021, menurut data proyek Costs of War di Brown University, AS , perang 20 tahun di Afghanistan menewaskan 171.000 hingga 174.000 orang. Jumlah ini mencakup 47.245 warga sipil Afghanistan, 66.000- 69.000 militer dan polisi Afghanistan, dan menewaskan setidaknya 51.000 oposisi oposisi.

Namun, jumlah korban tewas mungkin lebih tinggi. Ini karena kematian yang tidak terhitung oleh penyakit, akses ke makanan, udara, infrastruktur, atau konsekuensi lainnya dari perang. Itu sebabnya tak sedikit warga AS terutama dari Republik, partai pengusung presiden sebelumnya, Donald Trump, sangat marah.

Dalam ‘kasus’ Biden memerintahkan penarikan pasukan AS dari Afghanistan hingga tenggat waktu 31 Agustus 2021, negara itu terjebak dalam kekacauan.

Jadi, bukan sekadar karena AS telah menyelesaikan misinya: menembak mati Osama bin Laden, pemimpin kelompok teroris Al-Qaida (walaupun belum ada bukti yang sahih bahwa bin Laden benar-benar telah tewas), sekaligus AS telah mengusir gerombolan teroris itu dari Afghanistan.

Masalah yang lebih serius lagi, karena badan-badan intelijen AS memprediksi bahwa Afghanistan dalam dua tahun ke depan akan menjadi lahan subur untuk kelompok-kelompok teroris. Bahkan, tak terrtutup kemungkinan Taliban akan membangkiitkan kembali Al-Qaida.

Pemakzulan Presiden dalam Konstitusi AS

Pemakzulan sendiri berlaku di bawah undang-undang (UU) konstitusi di banyak negara, termasuk AS, Brasil, Rusia, Filipina, dan Republik Irlandia. Di Indonesia, dilansir dari Wikipedia, syarat pemberhentian dan garis besar proses pemakzulan presiden atau wakil presiden dimuat dalam Pasal 7 A dan 7 B Undang-undang Dasar 1945.

Adapun ancaman pemakzulan terhadap Biden, Presiden AS yang terpilih atas usungan Partai Demokrat pada November 2021 ini, dikemukakan langsung oleh anggta Senat AS dari Republik, Rick Scott.

Dilansir Suara Pemred dari The Associated Press, Rabu, 17 Agustus 2021, Ketua Komite Senator Republik Nasional ini, menyamakan perkembangan Afghanistan dengan apa yang disebutnya sebagai kegagalan Biden untuk mengatasi kenaikan inflasi, atau mengamankan perbatasan AS-Meksiko.

Karena itu, Scott dalam tweet-nya, bahkan bertanya-tanya: “Apakah waktunya telah tiba untuk melaksanakan ketentuan Amandemen XXV?"

Ketentuan itu sendiri, dapat mencopot Biden dari jabatannya oleh DPR AS ini. Sebab, Amandemen XXV Konstitusi AS berisi tentang pergantian presiden dan menetapkan prosedur untuk mengisi jabatan wakil presiden yang kosong, dan untuk menghadapi situasi ketika Presiden tidak lagi mampu menjalankan tugasnya.

Amandemen XXV yang ditetapkan pada 10 Februari 1967, menggantikan Pasal II, Ayat 1, Paragraf 6 Konstitusi AS yang ambigu. Ini karena pasal tersebut tidak menyatakan secara gamblang apakah wakil presiden akan menjadi presiden atau pelaksana tugas presiden, jika presiden meninggal dunia, mengundurkan diri, dicopot dari jabatan, atau tidak mampu menjalankan wewenang dan tugas jabatan tersebut.

Masih dari The Associated Press, Senin ini, reaksi Partai Republik beragam, bahkan sebagian besar tidak terdengar ketika Biden menyatakan akan tetap pada rencana Trump untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan, suatu kebijakan luar negeri yang menjadi sangat kontroversial.

Tetapi jatuhnya Pemerintah Afghanistan dan kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, setidaknya untuk saat ini, menyatukan kembali Partai Republik dalam kritik terhadap Biden. Penentang lama penarikan itu berpendapat pada Senin, 16 Agustus 2021, bahwa Biden seharusnya melihat bencana itu datang.

Bahkan, mereka yang awalnya menyemangati keputusan Biden terkait pasukan, kini berbalik mengecamnya karena dianggap melakukannya dengan buruk. “Sebuah tontonan memalukan, penghinaan diplomatik dan bencana keamanan nasional,” kata Senator Partai Republik dari Negara Bagian Texas, Ted Cruz.

Masuknya Taliban ke Kabul tidak mengubah fakta bahwa Partai Republik pada dasarnya telah mencoba berbalik arah dari kebijakan luar negeri, suatu jenis perubahan arah yang kemungkinan mengacaukan kasus apa pun yang dapat mereka buat untuk menyalahkan Biden, tanpa menimbulkan pukulan balik politik sendiri.

Akibat Serangan 9/11

Partai tersebut telah bergerak menjauh, tepat setelah serangan al-Qaeda di New York dan Washington, AS, 11 September 2001 atau disebut Serangan 9/11.

Aksi ini menyulut Presiden George W Bush pertama kali memimpin invasi ke Afghanistan dan AS menghabiskan waktu 20 tahun untuk mendorong pembangunan di negara itu, dan intervensi militer agresif di luar negeri.

Sementara di akhir masa jabatannya pada 2019, presiden berikut, Trump setuju untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan pada Mei 2021, “Sekarang saatnya orang lain melakukan pekerjaan itu. Anda tahu, sudah 19 tahun dan bahkan mereka lelah berjuang,” kata Trump.

Hanya saja, di akhir kalimatnya, Trump berkata: “Jika hal-hal buruk terjadi, kami akan kembali.”

Perjanjian pemerintahan Trump dan Taliban itu juga mensyaratkan Pemerintah Afghanistan membebaskan 5.000 tahanan. Beberapa di antaranya mungkin telah bergabung dengan serangan Taliban terbaru di mana perjanjian itu didukung oleh banyak anggota Partai Republik.

Dukungan itu tidak goyah, bahkan ketika Biden menunda pengiriman pulang sekitar 2.500 tentara AS yang tersisa di Afghanistan hingga 11 September 2021, sehingga kepergian mereka akan menandai peringatan 20 tahun serangan teroris al-Qaeda di AS.

Cruz termasuk di antara mereka yang menyambut baik keputusan itu. Pada April 2021, Cruz menyatakan ‘senang’ pasukan pulang.

“Upaya pembangunan bangsa (Afghanistan) sebenarnya memperburuk keadaan, bukan lebih baik,” kata Matt Gaetz, senatir dari Partai Republik, sekutu dekat Trump, di podcast-nya pekan ini.

Biden Salah Prediksi Kemampuan Taliban

Jelang akhir pekan lalu, Biden memprediksi bahwa butuh waktu berbulan-bulan, alias tak segampang itu bagi Taliban untuk merebut hampir seluruh provinsi di Afghanistan terutama Kabul, usai penarikan seluruh pasukan AS.

Belakangan, di tengah keroposnya korupsi yang melanda kalangan petinggi di pasukan keamanan Afghanista (sehingga tentara menurun kualitasnya termausk persenjataan), maka serangan Taliban sangat telak sejak awal Maret 2021.

Dari awalnya pedesaan, serangan meningkat ke berbagai distrik, hingga mencapai sejumlah ibu kota provinsi-provinsi penting sejak Juli 2021, dan terakhir merebut Kabul pada Minggu lalu, suatu gerakan fantastis cepat yang membuat dunia terkesima.

Biden pun salah prediksi. Maka itu, masih dari The Associated Press, Biden pada Senin lalu menyatakan berdiri ’tepat di belakang’ keputusannya untuk menarik pasukan AS. Biden juga mengakui gambar ‘menyayat hati’ yang terjadi di Kabul.

Biden mengaku menghadapi pilihan antara menghormati perjanjian penarikan yang dinegosiasikan sebelumnya, atau ‘mengirim ribuan tentara lagi untuk memulai perang dekade ketiga’.

“Setelah 20 tahun, saya telah belajar dengan cara yang sulit, bahwa tidak pernah ada waktu yang tepat untuk menarik pasukan AS,” kata Biden dalam pidato yang disiarkan televisi dari Gedung Putih.

Bahkan pada Selasa ini, Biden kembali ke Gedung Putih dari Camp David, dan mencoba memfokuskan kembali perdebatan tentang apakah AS masih termasuk di Afghanistan, bukan bagaimana AS keluar.

“Saya sekarang presiden Amerika keempat yang memimpin perang di Afghanistan,” katanya. “Saya tidak akan menyerahkan tanggung jawab ini kepada seperlima.”

Ditanya tentang bagaimana jika negosiasi dengan Taliban memberikan legitimasi kepada terorisme, Mike Pompeo, mantan menteri luar negeri di era Trump yang jugaarsitek utama perjanjian perdamaian Afghanistan, bersikeras menjawab pertanyaan stasiun televisi AS Fox News Sunday: “Kami tidak pernah mempercayai Taliban.”

Namun, beberapa rekan Pompeo dari Partai Republik menegaskan bahwa Trump berbagi kesalahan atas apa yang sekarang sedang berlangsung.

Senator Adam Kinzinger dari Partai Republik yang juga mantan perwira Angkatan Udara AS di Afghanistan, menyalahkan ‘kesepakatan buruk Trump yang dia negosiasikan’, tetapi juga ’eksekusi mengerikan dari kesepakatan yang seharusnya tidak pernah dia ikuti’.

Kesalahan Trump Besar, Biden lebih Besar

“Pada saat ini, orang-orang sangat bersemangat, atau sangat fokus pada bagaimana mereka bisa menyalahkan pihak lain. Bagaimana, mereka bisa memenangkan politik ini bolak-balik,” kata Kinzinger. “Saya pikir Donald Trump menanggung kesalahan besar, dan Joe Biden pada akhirnya akan menanggung kesalahan terbesar.”

Sementara itu, Lisa Murkowski yang juga senator dari Partai Repubplik dari Negara Bagian Alaska, menyatakan kepada para wartawan di Anchorage, Ibu Kota Alaska bahwa dia termasuk di antara mereka yang tidak mengantisipasi pasukan AS untuk seharusnya berada di Afghanistan selamanya.

Tapi, dia berkata; “Apa yang telah kita lihat bermain, saya pikir, meresahkan pada tingkat seperti itu. Saya pikir akan ada banyak ulasan tentang bagaimana kami berada di tempat ini saat ini.”

Senada itu, senator Partai Republik lainnya Liz Cheney, yang ayahnya membantu membentuk kebijakan luar negeri di era Bush sebagai wakil presidennya, men-tweet bahwa ‘malapetaka’ di Afghanistan dimulai ‘dengan pemerintahan Trump bernegosiasi dengan teroris, dan berpura-pura bahwa mereka adalah mitra untuk perdamaian’.

Cheney menambahkan bahwa semua itu berakhir dengan penyerahan AS, karena Biden meninggalkan Afghanistan kepada musuh teroris dari AS. Anggota Partai Republik lainnya lebih bersemangat untuk melukiskan apa yang terungkap sebagai masalah Biden.

Pemimpin Minoritas Senat Mitch McConnell menyebut peristiwa di Afghanistan sebagai ‘bencana yang tak tanggung-tanggung.

“Fakta bahwa Presiden Trump mengumumkan kami akan pergi pada Mei (2021), tidak berarti Presiden Biden harus melakukan itu,” kata McConnell tentang penarikan pasukan AS.

Komite Kongres Nasional Republik juga meluncurkan serangan online terhadap Demokrat yang melihat pertempuran pemilihan ulang DPR AS yang sulit selama paruh waktu tahun depan untuk dukungan masa lalu mereka terhadap kebijakan Biden di Afghanistan.

Yang lain telah melangkah lebih jauh.

“Demokrat mengendalikan DPR, Senat & @WhiteHouse,” tweet Scott, yang melakukan perjalanan Senin dan tidak tersedia untuk komentar lebih lanjut. “Apa yang sedang dilakukan Joe Biden?”

Tetapi, Kinzinger membalas, bahwa menurutnya, ‘kedua pihak telah mengecewakan rakyat Amerika’.

“Mereka sangat ingin keluar, dan hanya membuat pernyataan yang mendapat tepuk tangan di rapat umum seperti ‘bahwa semua pasukan pulang,’, tanpa realitas yang memadai bahwa para pemimpin harus memimpin dan menjelaskan kepada rakyat Amerika mengapa pasukan ada di sana, dan mengapa mereka penting,” kata Kinzinger.

“Sebaliknya, kami hanya fokus pada pemilu berikutnya. Ini adalah hasil dari itu,” tambahnya.

Taliban Umumkan Amnesti

Masih pada Selasa ini, dilansir dari The Associated Press, Taliban mengumumkan ‘amnesti’ di seluruh Afghanistan. dan mendesak perempuan untuk bergabung dengan pemerintah mereka .

Setelah serangan di Afghanistan yang membuat banyak kota jatuh ke tangan pemberontak tersebut tanpa perlawanan, Taliban telah berusaha untuk menggambarkan dirinya lebih moderat daripada ketika mereka memberlakukan aturan brutal pada akhir 1990-an ketika memerintah negara itu.

Tetapi, banyak orang Afghanistan tetap skeptis.

Generasi yang lebih tua mengingat pandangan Islam ultrakonservatif Taliban, yang mencakup pembatasan ketat terhadap perempuan serta rajam, amputasi dan eksekusi publik sebelum Taliban sendiri digulingkan oleh invasi pimpinan AS yang mengikuti serangan teror 11 September 2001.

Meskipun tidak ada laporan besar tentang pelanggaran atau pertempuran Kabul saat Taliban sekarang berpatroli di jalan-jalannya, banyak penduduk tetap tinggal di rumah. Mereka tetap takut setelah pengambilalihan di mana pemberontak mengosongkan penjara dan menjarah gudang senjata.

Banyak wanita telah menyatakan ketakutannya bahwa eksperimen Barat selama dua dekade untuk memperluas hak-hak mereka dan membangun kembali Afghanistan, tidak akan bertahan ketika Taliban kembali berkuasa.

Janji amnesti dari Enamullah Samangani, seorang anggota komisi budaya Taliban, adalah komentar pertama tentang bagaimana Taliban bisa memerintah di tingkat nasional.

Namun, pernyataannya tetap tidak jelas, karena Taliban masih bernegosiasi dengan para pemimpin politik dari pemerintah yang jatuh di negara itu, dan tidak ada kesepakatan penyerahan resmi yang diumumkan.

“Imarah Islam tidak ingin perempuan menjadi korban,” kata Samangani. “Mereka harus berada dalam struktur pemerintahan menurut hukum Syariah.”

Pernyataan itu akan menjadi akhir sikap keras Taliban di masa kekuasaannya, ketika sebagian besar dikurung di rumah.

Samangani tidak menjelaskan dengan tepat apa yang dimaksud dengan Syariah atau hukum Islam, yang menyiratkan bahwa orang-orang sudah mengetahui aturan yang diharapkan Taliban untuk diikuti. “Semua pihak harus bergabung dengan pemerintah,” katanya.

Taliban tetap akan Balas Dendam?

Juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan amnesti, meskipun para pemimpin Taliban lainnya menyatakan bahwa pihaknya tidak akan membalas dendam pada mereka yang bekerja dengan Pemerintah Afghanistan atau negara asing.

Tetapi, beberapa warga di Kabul menuduh pejuang Taliban memiliki daftar orang-orang yang bekerja sama dengan pemerintah, dan mencari mereka.

Rupert Colville, juru bicara komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia, mencatat baik sumpah Taliban dan ketakutan warga yang sekarang di bawah kekuasaan Taliban.

“Janji-janji seperti itu perlu ditepati, dan untuk saat ini – sekali lagi dapat dimengerti, mengingat sejarah masa lalu – deklarasi ini disambut dengan skeptisisme,” katanya dalam sebuah pernyataan. “Ada banyak kemajuan yang diraih dengan susah payah dalam hak asasi manusia selama dua dekade terakhir. Hak semua warga Afghanistan harus dipertahankan.”

Tujuh Tewas karena Bergelantungan di Pesawat

Pada Selasa ini, bandara internasional Kabul, satu-satunya jalan keluar bagi banyak orang, dibuka kembali untuk penerbangan evakuasi militer di bawah pengawasan pasukan AS.

Semua penerbangan ditangguhkan pada Senin lalu, ketika ribuan orang bergegas ke bandara dalam keadaan putus asa untuk meninggalkan negara itu. Dalam adegan mengejutkan yang terekam dalam video, beberapa orang berpegangan di sebuah pesawat saat lepas landas, dan kemudian jatuh hingga tewas.

Sedikitnya tujuh orang tewas dalam kekacauan itu, menurut para pejabat AS.

Stefano Pontecorvo, perwakilan sipil senior NATO untuk Afghanistan, memposting video online yang menunjukkan landasan pacu kosong dengan menyisakan pasukan AS di landasan.

Pesawat mirip pengangkut kargo militer terlihat di kejauhan dari balik pagar rantai dalam rekaman tersebut. “Saya melihat pesawat mendarat dan lepas landas,” tulisnya di Twitter.

Hingga Senin malam, data pelacakan penerbangan menunjukkan sebuah pesawat militer AS lepas landas ke Qatar, markas depan Komando Pusat Militer AS.

Sebuah pesawat kargo militer Inggris juga terbang ke Kabul setelah lepas landas dari Dubai. Pesawat militer lainnya tetap mengudara di wilayah tersebut.

Namun, ada indikasi bahwa situasinya masih lemah.

Kedutaan Besar AS di Kabul, yang sekarang beroperasi dari bandara, mendesak warganya untuk mendaftar secara online untuk evakuasi, tetapi tidak datang ke bandara sebelum dihubungi.

Sementara Kementerian Luar Negeri Jerman menyatakan, pesawat angkut militer pertamanya telah mendarat di Kabul, tetapi hanya bisa membawa tujuh orang sebelum harus berangkat lagi karena kekacauan yang terus berlanjut di bandara.

Sebuah penerbangan militer khusus dengan sekitar 120 pejabat India, secara terpisah mendarat di negara bagian barat Gujarat, setelah lepas landas dari bandara utama Kabul pada Selasa ini, menurut Press Trust of India dan televisi pemerintah negara itu.

Penerbangan lain juga berhasil mendarat pada hari Senin.Menteri Luar Negeri Swedia Ann Linde menulis di Twitter pada Selasa bahwa staf dari Kedutaan Besar Swedia di Kabul telah kembali ke Swedia.

Diplomat Jepang dievakuasi, dan Spanyol mengirim pesawat militer untuk menarik orang keluar juga.

Komite Palang Merah Internasional menyatakan, ribuan orang terluka dalam pertempuran, ketika Taliban menyapu seluruh negara itu dalam beberapa hari terakhir.

Namun, di banyak tempat, pasukan keamanan dan politisi menyerahkan provinsi dan pangkalan, tanpa perlawanan, kemungkinan takut apa yang akan terjadi ketika pasukan AS terakhir mundur.

Pembicaraan berlanjut Selasa antara Taliban dan beberapa pejabat pemerintah Afghanistan, termasuk mantan Presiden Hamid Karzai dan Abdullah Abdullah, yang pernah mengepalai dewan perunding negara itu.

Rusia Pertanyakan Peran AS

Diskusi difokuskan pada bagaimana pemerintah yang didominasi Taliban akan beroperasi mengingat perubahan di Afghanistan selama 20 tahun terakhir, daripada hanya membagi siapa yang mengendalikan kementerian apa, kata pejabat yang mengetahui negosiasi tersebut.

Mereka berbicara dengan syarat anonim untuk membahas rincian rahasia pembicaraan.

Presiden Ashraf Ghani sebelumnya melarikan diri dari negara itu di tengah kemajuan Taliban dan keberadaannya masih belum diketahui.

Sementara layanan kantor berita Pemerintah Rusia TASS pada Selasa ini melaporkan, negaranya mempertanyakan apakah AS dan NATO memenuhi tujuan mereka di Afghanistan.

“Begitu banyak yang telah dikatakan di Washington tentang bagaimana tujuan yang ditetapkan di Afghanistan telah tercapai, sehingga saya merasa ingin mengklarifikasi [masalah ini],” tulis Juru Bicara Rusia, Maria Zakharova di saluran Telegram-nya.

Diplomat itu mengingat bahwa Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) telah dibentuk berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB pada 20 Desember 2001.

“Resolusi Dewan Keamanan PBB 1386 dengan jelas menyatakan bahwa tujuan ISAF adalah untuk membantu Otoritas Sementara Afghanistan dalam menjaga keamanan di Kabul dan daerah sekitarnya, sehingga Otoritas Sementara Afghanistan, serta personel PBB, dapat bekerja dalam kondisi aman, “tegasnya.

Ditegaskan, Dewan Keamanan PBB pada Oktober 2003 memutuskan untuk memperluas misi di luar Kabul.

“Ekspansi berlangsung secara bertahap, dan selesai pada Oktober 2006, ketika Pasukan Internasional mengambil tanggung jawab untuk menjaga keamanan di seluruh negeri,” ujarnya.

Ditambahkan, tujuan perluasan kontingen di Afghanistan adalah untuk mengekang aktivitas militan dari Taliban (dilarang di Rusia), memberi Afghanistan waktu untuk mengambil kendali atas negara ke tangan warga Afghanistan sendiri.

“Sekarang Anda dapat menarik kesimpulan sendiri apakah tujuan tercapai atau tidak,” tambah Zakharova.

Menurut Vyacheslav Volodin, 20 tahun masa tinggal militer AS di Afghanistan telah berakhir dengan ’tragedi dan bencana kemanusiaan’.

Senada itu, Ketua Duma Negara Rusia (Majelis Rendah Parlemen) Vyacheslav Volodin dalam pidatonya di saluran Telegram pada Selasa menyatakan, dana yang dialokasikan oleh AS dan sejumlah negara Eropa untuk menggulingkan pemerintah negara-negara lain, harus digunakan untuk membantu rakyat Afghanistan dan negara-negara tetangganya.

Menurutnya, anggaran AS dan sejumlah negara Eropa untuk mempromosikan demokrasi di negara-negara lain sedang meningkat.

“Masalah yang dihadapi adalah menggulingkan otoritas yang ada, dan mendukung para politisi yang setia kepada mereka, sehingga menciptakan ketegangan dan konflik,” kecamnya.

“Hal yang benar adalah mengirimkan dana ini untuk membantu rakyat Afghanistan dan negara-negara tetangga, yang menghadapi beban berat akibat aktivitas AS,” kata pembicara ini menekankan.

Dia juga menunjukkan bahwa tidak ada laporan dari Departemen Luar Negeri AS tentang ‘bantuan seperti apa yang akan diberikan ke Afghanistan dan negara-negara tetangga’,.***

Sumber: The Associated Press, Wikipedia, TASS, Costs of War di Universitas Brown

Bodies of Tom Ballard and Daniele Nardi found in Himalayas

img ]

The bodies of Tom Ballard and Daniele Nardi, the British and Italian climbers who went missing a fortnight ago, have been found on the mountain Nanga Parbat in Pakistan.

Italy’s ambassador to Pakistan, Stefano Pontecorvo, said on Saturday that the search team had confirmed that silhouettes spotted on the mountain “through telescope and pics beyond reasonable doubt” were the bodies of the two men.

Four Spanish rescuers were flown in by a military helicopter on Monday, joining Pakistani mountaineer Ali Sadpara at base camp to conduct the search.

On Twitter, Pontecorvo wrote: “With great sadness I inform that the search for Daniele Nardi and Tom Ballard is over as Alex Txikon and the search team have confirmed that the silhouettes spotted on Mummery at about 5,900 metres are those of Daniele and Tom. RIP.”

While the bodies were difficult to reach, rescuers promised that everything would be done to recover them. Ballard and Nardi last made contact on 24 February, from an elevation of 6,300 metres (20,670 feet). Nardi, 42, had attempted the Nanga Parbat summit several times before. In 2015, Ballard, 30, became the first person to solo climb all six major north faces of the Alps in one winter.

Daniele Nardi. Photograph: Fotogramma/Ropi/Rex/Shutterstock

He and Nardi began prepping for the challenge in December. Dubbed “Killer Mountain”, Nanga Parbat is in Pakistan’s Gilgit-Baltistan area and is the ninth highest mountain in the world at 8,126 metres (26,660 feet). Two Pakistani mountaineers had joined the pair on the expedition but turned back because they thought the weather conditions too dangerous.

Nonetheless, spirits were high. In his last post on Facebook, on 19 February, Ballard wrote: “Basecamp life is becoming, almost, like a holiday while we wait for that elusive weather window. Many new and interesting drytooling boulder problems, luncheon in the sun and afternoon skiing. What more could you want?”

Twenty-four years ago, Ballard’s mother, Alison Hargreaves, died while climbing K2, another notoriously dangerous Pakistani mountain. Hargreaves died just months after becoming the first woman to conquer Everest unaided.

Ballard was born in Derbyshire but the family, which included his father, Jim, and younger sister, Kate, moved to the Scottish Highlands in 1995. In more recent years, Ballard had been living in Italy’s Dolomites mountain range with his father. On Facebook, Ballard’s girlfriend, Stefania Pederiva, wrote that her heart was “completely drowned” with sorrow. She added: “There are or will never be words suitable to describe the void you left.”